AS
dan China diambang perang dagang setelah hasil investigasi selama tujuh bulan
yang dilakukan Penasihat Trump di bidang perdagangan, Robert Lighthnizer,
menyimpulkan praktik perdagangan China berpotensi tidak adil kepada AS. AS
menuduh China mencuri kekayaan intelektual dengan meretas jaringan komputer
sehingga AS mengaku dirugikan ratusan miliar dolar. Terindikasi juga, China
telah memaksa perusahaan AS untuk menyerahkan kekayaan intelektual mereka
melalui serangkaian kebijakan struktural oleh negara. AS memiliki bukti bahwa
China menekan perusahaan-perusahaan internasional untuk melakukan transfer
teknologi dengan mewajibkan mereka menciptakan kemitraan lokal agar bisa
memasuki pasar China. AS juga menemukan bukti bahwa China mengarahkan investasi
mereka di AS ke industri strategis, dan melakukan serta mendukung serangan
siber (teknologi dan informasi).
AS
memberlakuan tarif impor untuk sejumlah produk China dipandang sebagai
kebijakan yang tepat untuk masa depan perindustrian AS. Presiden Trump menetapkan
tarif sekitar US$50–US$60 miliar atau sekitar Rp827,34 triliun atas produk
China yang masuk ke negara. AS juga menetapkan tarif impor sebesar 25% untuk
baja dan 10% untuk aluminium dari China. Departemen Keuangan AS juga sedang
menyusun rencana tambahan mencakup pemberlakuan tarif bea masuk untuk sejumlah
produk China. Sebagai langkah lanjut, AS mengancam akan mengajukan pengaduan
kepada WTO. Pemerintah AS terus menekan China untuk lebih membuka ekonominya
bagi pebisnis AS, menurunkan defisit perdagangan hingga US$100 miliar,
menghapus aturan yang mewajibkan korporasi asing membentuk perusahaan patungan
dengan korporasi China, dan berhenti memaksa kalangan bisnis AS untuk
memberikan hak kekayaan intelektual agar bisa beroperasi di China.
Pemberlakuan
kenaikan tarif produk dari China bukan merupakan kebijakan yang hanya
asal-asalan saja. Tarif merupakan instrumen kebijakan perdagangan. Penaikan
tarif yang dilakukan AS merupakan langkah tepat yang dirasa saat ini. Hal ini
dilakukan karena AS merasa telah dirugikan oleh China sehingga menaikkan tarif
impor dapat mengembalikan kerugian yang telah didapat oleh AS dan hal-hal yang
merugikan tidak terjadi lagi.
Namun,
kebijakan Presiden Trump tersebut menimbulkan polemik di dalam negeri AS.
Sejumlah politisi dan kalangan industri, termasuk perusahaan pengecer,
menyatakan kecemasan tentang kemungkinan terjadinya pembalasan karena industri
pertanian AS akan terpukul. Produk pertanian AS selama ini banyak bergantung
pada ekspor ke China. Dampak lebih buruk dikhawatirkan akan terjadi bila China
memboikot produk-produk AS lainnya. Pelaku pasar pun bereaksi negatif terhadap
langkah Trump sehingga bursa saham AS mengalami penurunan. Kebijakan Presiden
Trump sekaligus merupakan pukulan terhadap kebijakan “Made in China 2025".
Ini adalah kebijakan Pemerintah China untuk mengarahkan industri China menuju
industri inovatif berbasis sains dan teknologi. Setidaknya terdapat 10 industri
strategis yang akan terdampak, antara lain teknologi informasi, robotik,
pesawat terbang, teknik galangan kapal dan kelautan, perkeretaapian, bahan
bakar terbarukan, serta obat-obatan.
Implikasi bagi
Perekonomian Dunia
WTO (World
Trade Organization) organisasi perdagangan dunia, tengah mengalami salah satu
periode terberatnya karena ada risiko bahwa perang dagang antara dua negara
adidaya (AS dan China) akan sebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi global.
Kebijakan Presiden Donald Trump menerapkan tarif impor bisa menjadi bumerang
bagi AS. China bukan satu-satunya negara yang mendapat ancaman penangguhan
tarif impor baja dan aluminium. Meskipun akhirnya dibatalkan, Presiden Trump
juga mengarahkan kebijakannya tersebut kepada mitra dagang utamanya di Uni
Eropa, Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Meksiko, dan Korea Selatan hingga
1 Mei 2018. Alih-alih mendapat keuntungan, AS akan mendapat tentangan dari
negara-negara lain yang membalas juga dengan kebijakan tarif impor baru.
Para
pakar ekonomi internasional memproyeksikan terdapat empat tingkatan konflik
yang mungkin terjadi dalam proses menuju perang dagang. Pertama, AS melakukan
kebijakan tarif impor baru yang cukup tinggi. Kedua, negara-negara di luar AS
bereaksi dengan melakukan kebijakan yang sama terhadap impor produk AS ke
negaranya. Ketiga, ekonomi global menuju kondisi perang dagang pada tahap-tahap
selanjutnya. Keempat, terjadi perang dagang yang sesungguhnya yang melibatkan
banyak negara dan mempengaruhi perekonomian global. Volume perdagangan dunia
akan melambat dan itu sangat tidak diharapkan terjadi karena akan berpengaruh
kepada semua negara. Perang dagang akan mempengaruhi rantai pasokan global
sehingga banyak perusahaan harus menghitung lagi jalur produksi, distribusi,
dan biayanya. Dalam kondisi tersebut setiap negara, perusahaan, hingga konsumen
harus siap dengan kondisi perekonomian baru.
Dalam
upaya meredakan ketegangan ekonomi AS–China, Presiden China Xi Jinping
menyatakan negaranya akan menerapkan sistem ekonomi terbuka. Termasuk
menurunkan tarif impor mobil dan melindungi kekayaan intelektual
perusahaan-perusahaan asing yang berada di China. Kebijakan tersebut ditempuh
karena reformasi ekonomi China terjadi secara perlahan. China memilih untuk
mengendurkan perang dagang agar mengurangi pertambahan volume dan sesuai yang
diinginkan pasar. China menyadari jika perang dagang antar kedua negara
terjadi, perekonomiannya akan mengalami kemunduran yang besar, akan berdampak
sangat serius terhadap proses ekonomi yang digagaskan oleh Xi Jinping. Oleh
sebab itu, China melakukan segala upaya untuk berkompromi.
Apa
yang dirasakan oleh AS dan China merupakan imbas dari kasus untuk perdagangan
bebas. Pembalasan dan perang perdagangan menjadi teori utama dalam kasus yang
terjadi ini. Pembalasan dan perang perdagangan memang kerap terjadi yang
dihasilkan antara dua atau lebih negara. Perang dagang yang diawali dari
indikasi kerugian dari AS yang disebabkan China, kemudian menjadikan AS
mengambil kebijakan penaikan barang impor dari China, dan upaya China untuk
meredakan ketegangan dengan AS merupakan pembalasan yang didapat.
Memang
perang dagang AS dan China akibatnya akan buruk secara global. Hal ini karena
progres globalisasi akan mengalami kemunduran. Masing-masing negara mungkin
akan membentengi negaranya sendiri dengan mengenakan tarif impor yang
mengakibatkan kenaikan biaya dan tentunya inflasi.
Namun,
kita juga mengetahui bahwa Presiden Donald Trump sering kali menggunakan
strategi dimana pada awalnya akan membuat kehebohan namun pada akhirnya,
kebijakan yang diimplementasikan ternyata jauh lebih lunak. Hal ini mungkin
juga terjadi dengan kasus perang dagang yang saat ini sedang banyak dibahas.
Bagi
AS, mengenakan tariff impor di berbagai jenis barang dapat berimbas pada
kenaikan inflasi. Ditambah lagi, kalau AS benar-benar membuat tarif hanya untuk
China, harus diingat bahwa Donald Trump telah menurunkan penerimaan pajak,
artinya defisit akan membengkak sehingga harus menerbitkan tambahan obligasi.
Maka,
secara rasional, sebenarnya perang dagang memiliki imbas yang tidak baik bagi
semua pihak. Tentunya, kita semua berharap bahwa ancaman perang dagang ini
dapat teratasi dengan cepat.
Referensi:
Oetomo, Teddy. 2018. ANCAMAN PERANG DAGANG ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN CHINA. Jakarta:
Sales Newsletter. Schroders: 1-2
Pujayanti, Adirini. 2018. PERANG DAGANG AMERIKA SERIKAT – CHINA DAN IMPLIKASINYA BAGI INDONESIA.
Jakarta Pusat: Info Singkat. Vol: X, No. 7: 7-12
W.L Hill, Charles, Chow Hou Wee dan Krishna Udayasangkar.
2014. Bisnis Internasional Perspektif
Asia (Buku 1). Jakarta: Salemba Empat.