Senin, 14 Mei 2018

Perang Dagang Amerika Serikat dan RRT


            AS dan China diambang perang dagang setelah hasil investigasi selama tujuh bulan yang dilakukan Penasihat Trump di bidang perdagangan, Robert Lighthnizer, menyimpulkan praktik perdagangan China berpotensi tidak adil kepada AS. AS menuduh China mencuri kekayaan intelektual dengan meretas jaringan komputer sehingga AS mengaku dirugikan ratusan miliar dolar. Terindikasi juga, China telah memaksa perusahaan AS untuk menyerahkan kekayaan intelektual mereka melalui serangkaian kebijakan struktural oleh negara. AS memiliki bukti bahwa China menekan perusahaan-perusahaan internasional untuk melakukan transfer teknologi dengan mewajibkan mereka menciptakan kemitraan lokal agar bisa memasuki pasar China. AS juga menemukan bukti bahwa China mengarahkan investasi mereka di AS ke industri strategis, dan melakukan serta mendukung serangan siber (teknologi dan informasi).
            AS memberlakuan tarif impor untuk sejumlah produk China dipandang sebagai kebijakan yang tepat untuk masa depan perindustrian AS. Presiden Trump menetapkan tarif sekitar US$50–US$60 miliar atau sekitar Rp827,34 triliun atas produk China yang masuk ke negara. AS juga menetapkan tarif impor sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium dari China. Departemen Keuangan AS juga sedang menyusun rencana tambahan mencakup pemberlakuan tarif bea masuk untuk sejumlah produk China. Sebagai langkah lanjut, AS mengancam akan mengajukan pengaduan kepada WTO. Pemerintah AS terus menekan China untuk lebih membuka ekonominya bagi pebisnis AS, menurunkan defisit perdagangan hingga US$100 miliar, menghapus aturan yang mewajibkan korporasi asing membentuk perusahaan patungan dengan korporasi China, dan berhenti memaksa kalangan bisnis AS untuk memberikan hak kekayaan intelektual agar bisa beroperasi di China.
            Pemberlakuan kenaikan tarif produk dari China bukan merupakan kebijakan yang hanya asal-asalan saja. Tarif merupakan instrumen kebijakan perdagangan. Penaikan tarif yang dilakukan AS merupakan langkah tepat yang dirasa saat ini. Hal ini dilakukan karena AS merasa telah dirugikan oleh China sehingga menaikkan tarif impor dapat mengembalikan kerugian yang telah didapat oleh AS dan hal-hal yang merugikan tidak terjadi lagi.
            Namun, kebijakan Presiden Trump tersebut menimbulkan polemik di dalam negeri AS. Sejumlah politisi dan kalangan industri, termasuk perusahaan pengecer, menyatakan kecemasan tentang kemungkinan terjadinya pembalasan karena industri pertanian AS akan terpukul. Produk pertanian AS selama ini banyak bergantung pada ekspor ke China. Dampak lebih buruk dikhawatirkan akan terjadi bila China memboikot produk-produk AS lainnya. Pelaku pasar pun bereaksi negatif terhadap langkah Trump sehingga bursa saham AS mengalami penurunan. Kebijakan Presiden Trump sekaligus merupakan pukulan terhadap kebijakan “Made in China 2025". Ini adalah kebijakan Pemerintah China untuk mengarahkan industri China menuju industri inovatif berbasis sains dan teknologi. Setidaknya terdapat 10 industri strategis yang akan terdampak, antara lain teknologi informasi, robotik, pesawat terbang, teknik galangan kapal dan kelautan, perkeretaapian, bahan bakar terbarukan, serta obat-obatan.
Implikasi bagi Perekonomian Dunia
            WTO (World Trade Organization) organisasi perdagangan dunia, tengah mengalami salah satu periode terberatnya karena ada risiko bahwa perang dagang antara dua negara adidaya (AS dan China) akan sebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi global. Kebijakan Presiden Donald Trump menerapkan tarif impor bisa menjadi bumerang bagi AS. China bukan satu-satunya negara yang mendapat ancaman penangguhan tarif impor baja dan aluminium. Meskipun akhirnya dibatalkan, Presiden Trump juga mengarahkan kebijakannya tersebut kepada mitra dagang utamanya di Uni Eropa, Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Meksiko, dan Korea Selatan hingga 1 Mei 2018. Alih-alih mendapat keuntungan, AS akan mendapat tentangan dari negara-negara lain yang membalas juga dengan kebijakan tarif impor baru.
            Para pakar ekonomi internasional memproyeksikan terdapat empat tingkatan konflik yang mungkin terjadi dalam proses menuju perang dagang. Pertama, AS melakukan kebijakan tarif impor baru yang cukup tinggi. Kedua, negara-negara di luar AS bereaksi dengan melakukan kebijakan yang sama terhadap impor produk AS ke negaranya. Ketiga, ekonomi global menuju kondisi perang dagang pada tahap-tahap selanjutnya. Keempat, terjadi perang dagang yang sesungguhnya yang melibatkan banyak negara dan mempengaruhi perekonomian global. Volume perdagangan dunia akan melambat dan itu sangat tidak diharapkan terjadi karena akan berpengaruh kepada semua negara. Perang dagang akan mempengaruhi rantai pasokan global sehingga banyak perusahaan harus menghitung lagi jalur produksi, distribusi, dan biayanya. Dalam kondisi tersebut setiap negara, perusahaan, hingga konsumen harus siap dengan kondisi perekonomian baru.
            Dalam upaya meredakan ketegangan ekonomi AS–China, Presiden China Xi Jinping menyatakan negaranya akan menerapkan sistem ekonomi terbuka. Termasuk menurunkan tarif impor mobil dan melindungi kekayaan intelektual perusahaan-perusahaan asing yang berada di China. Kebijakan tersebut ditempuh karena reformasi ekonomi China terjadi secara perlahan. China memilih untuk mengendurkan perang dagang agar mengurangi pertambahan volume dan sesuai yang diinginkan pasar. China menyadari jika perang dagang antar kedua negara terjadi, perekonomiannya akan mengalami kemunduran yang besar, akan berdampak sangat serius terhadap proses ekonomi yang digagaskan oleh Xi Jinping. Oleh sebab itu, China melakukan segala upaya untuk berkompromi.
            Apa yang dirasakan oleh AS dan China merupakan imbas dari kasus untuk perdagangan bebas. Pembalasan dan perang perdagangan menjadi teori utama dalam kasus yang terjadi ini. Pembalasan dan perang perdagangan memang kerap terjadi yang dihasilkan antara dua atau lebih negara. Perang dagang yang diawali dari indikasi kerugian dari AS yang disebabkan China, kemudian menjadikan AS mengambil kebijakan penaikan barang impor dari China, dan upaya China untuk meredakan ketegangan dengan AS merupakan pembalasan yang didapat.
            Memang perang dagang AS dan China akibatnya akan buruk secara global. Hal ini karena progres globalisasi akan mengalami kemunduran. Masing-masing negara mungkin akan membentengi negaranya sendiri dengan mengenakan tarif impor yang mengakibatkan kenaikan biaya dan tentunya inflasi.
            Namun, kita juga mengetahui bahwa Presiden Donald Trump sering kali menggunakan strategi dimana pada awalnya akan membuat kehebohan namun pada akhirnya, kebijakan yang diimplementasikan ternyata jauh lebih lunak. Hal ini mungkin juga terjadi dengan kasus perang dagang yang saat ini sedang banyak dibahas.
            Bagi AS, mengenakan tariff impor di berbagai jenis barang dapat berimbas pada kenaikan inflasi. Ditambah lagi, kalau AS benar-benar membuat tarif hanya untuk China, harus diingat bahwa Donald Trump telah menurunkan penerimaan pajak, artinya defisit akan membengkak sehingga harus menerbitkan tambahan obligasi.
            Maka, secara rasional, sebenarnya perang dagang memiliki imbas yang tidak baik bagi semua pihak. Tentunya, kita semua berharap bahwa ancaman perang dagang ini dapat teratasi dengan cepat.







Referensi:

Oetomo, Teddy. 2018. ANCAMAN PERANG DAGANG ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN CHINA. Jakarta: Sales Newsletter. Schroders: 1-2
Pujayanti, Adirini. 2018. PERANG DAGANG AMERIKA SERIKAT – CHINA DAN IMPLIKASINYA BAGI INDONESIA. Jakarta Pusat: Info Singkat. Vol: X, No. 7: 7-12
W.L Hill, Charles, Chow Hou Wee dan Krishna Udayasangkar. 2014. Bisnis Internasional Perspektif Asia (Buku 1). Jakarta: Salemba Empat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perang Dagang Amerika Serikat dan RRT

             AS dan China diambang perang dagang setelah hasil investigasi selama tujuh bulan yang dilakukan Penasihat Trump di bidang per...